“RINDU” – Resensi Novel Karya
Darwis Tere
BY: H RIZIQ
Pernahkah, sekali saja sepanjang usiamu,
kau memiliki sebuah pertanyaan mengenai kehidupan?
Pertanyaan tentang apa saja, apapun yang
muncul dalam benakmu, apapun yang timbul dari pengalaman hidupmu.
Seperti…
“Apakah Tuhan masih mau memaafkan saya? Meski saya bergelimang dosa dan
pernah hidup dengan cara yang nista dan hina?”
“Kenapa saya harus begitu membenci
seseorang? Bagaimana caranya menghapuskan rasa benci ini?”
“Kenapa saya harus jatuh cinta? Kenapa
ketika jatuh cinta, bukan bahagia yang memenuhi hati ini, tapi malah rasa sakit
yang tak terperi? Kenapa Tuhan memberikan rasa cinta lantas Ia menghadapkan
kita pada kenyataan bahwa cinta itu tak bisa kita miliki?”
“Kenapa Tuhan mengambil orang-orang yang
sangat kita cintai? Kenapa tak bisa menunggu sedikit saja, sebentar saja,
hingga apa yang kami impikan dan harapkan bisa menjadi kenyataan?”
“Kenapa rasanya begitu munafik? Memberikan
nasehat dan kata-kata bijak pada orang lain namun diri sendiri tak bisa
melakukan sesatu yang benar?”
Pertanyaan-pertanyaan itu, terangkum dalam
kisah 5 orang anak manusia yang diceritakan dalam novel ini. Lima orang dengan
latar belakang, usia, daerah asal dan karakter yang berbeda-beda. Mereka
disatukan dalam sebuah perjalanan yang sama, untuk menggenapkan rukun islam
yang kelima, dalam sebuah kapal uap bernama Blitar Holland. Kisah-kisah ini
mengambil latar pada masa pendudukan dan penjajahan Belanda di Indonesia,
tepatnya pada tahun 1938 Masehi, tujuh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
Kalau saya boleh jujur, menurut saya
membaca buku ini tidaklah mudah. Butuh semangat yang lebih untuk bisa
menuntaskan bait demi bait tulisannya, lembar demi lembar halamannya. Mungkin
karena saya lebih terbiasa membaca novel dengan ketebalan yang tidak melebihi
400 halaman, sehingga untuk yang satu ini membuat saya sedikit harus berusaha
ekstra.
Ada banyak ulasan mengenai kapal uap,
mengenai kegiatan para kelasi kapal, yang sejujurnya tidak begitu saya pahami
dan tidak begitu menarik untuk saya telusuri lebih detail. Tapi apalah arti
sebuah buku tanpa ada bumbu-bumbu penyedap. Mungkin bagian yang menjabarkan
mengenai kapal uap, kelasi dan dermaga ini adalah bumbu penyedap yang diberikan
penulis dalam buku ini setebal 544 halaman ini, yang menurut pembaca lain
(selain saya) bisa jadi menarik untuk dibaca. Namun saya merasa sangat penting
untuk terus membaca tiap lembar isinya, karena ditiap lembar bagian awal buku
ini terletak kunci-kunci yang nantinya akan sangat berkaitan dengan bagian
akhir cerita.
Dan yang membuat saya merasa puas adalah
cara penulis menarasikan nasehat-nasehat yang disampaikan melalui lisan seorang
ulama mahsyur bernama Gurutta, salah satu tokoh utama dalam novel ini, yang
juga merupakan tokoh favorit saya. Nasehat-nasehat itu sepertinya keluar
benar-benar dari seorang ulama besar dengan segala kebijaksanaan yang
dimilikinya. Sampai-sampai saya berpikir, “Andai saja ada ulama seperti ini di
Indonesia, mungkin saya akan hijrah ke tempat asal beliau dan meminta untuk
menjadi muridnya.”.
Permasalahan yang dialami tokoh-tokoh
dalam novel tersebut mungkin tak jauh beda dengan permasalahan yang selama ini
kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Satu tokoh memiliki satu permasalahan
yang berbeda dengan tokoh lainnya. Tiap masalah memunculkan satu pertanyaan
besar. Masalah dan pertanyaan itu lah yang menjadi bagian terpenting dari
cerita dalam novel ini. Inilah yang akan saya jabarkan satu per satu dalam
resensi ini.
Masa Lalu Yang Kelam
Siapa diantara kita yang tak punya masa
lalu? Pasti semua memiliki masa lalu dengan ceritanya masing-masing. Jika masa
lalu kita indah maka tak akan jadi soal. Namun jika masa lalu kita buruk,
inilah yang menjadi masalah.
Dalam novel ini salah satu tokoh nya
memiliki masa lalu yang begitu kelam. Masa lalu yang sama sekali tak ingin dia
ingat, yang kalau bisa rasanya ingin dia hapuskan dari memori otaknya. Ia dulu
pernah menjadi seorang pelacur, atau dalam bahasa novel tersebut, seorang
‘cabo’. Ia merasa begitu hina dan kotor karena profesi yang dulu pernah
bertahun-tahun dilakoninya tersebut. Hingga ia merasa perlu untuk melarikan
diri dari segalanya, dari kehidupannya yang dulu, dari keluarganya, dari daerah
asalnya, karena takut dikenali orang-orang sebagai seorang mantan ‘cabo’. Ia sampai
merubah namanya, dari Ling Ling menjadi Bonda Upe.
Bukan hanya masa lalu nya itu yang
membuatya resah, namun pertanyaan yang muncul setelahnya. Kini ia sedang dalam
perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia takut sekali dan
terus mempertanyakan, “Apakah Allah menerima ibadah haji seorang mantan cabo?”.
Masa lalu dan pertanyaan tersebut terus menghantui dirinya hingga membuatnya
takut untuk bersosialisasi, takut bertemu dengan banyak orang, takut ada yang
membuka identitas nya sebagai mantan cabo. Hingga ia memilih untuk menjadi
orang yang sangat tertutup dan enggan berteman dengan siapapun.
Namun jawaban yang diberikan Gurutta, sang
ulama bijak itu, telah menjawab semua kegundahan hatinya. Izinkan saya mengutip
rangkaian nasihat indah yang diberikan Gurutta pada Bonda Upe, yang mungkin
juga bisa menjadi pelipur lara bagi pembaca sekalian yang juga sedang bergelut
dengan masa lalu yang kelam.
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah
dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.
Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua
kisah itu, berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik
mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri.
Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan yang lebih bahagia.”
“Tentang penilaian orang lain, tentang
cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, saat kita
tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak.
Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya
melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah
tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh
kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang
lain.”
“Kita tidak perlu menjelaskan panjang
lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang
hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan.
Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau
tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan
hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai
dalam hati kita sendiri.”
“Kita tidak perlu membuktikan pada
siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan
merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang
lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu
persis apakah kita memang sebaik itu.”
“Apakah Allah akan menerima seorang
pelacur di Tanah suci? Jawabannya hanya Allah yang tahu, kita tidak bisa
menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi
ketahuilah, Nak, ada sebuah kisah sahih dari Nabi kita. Mungkin itu akan
membuatmu menjadi mantap. Sebuah kisah tentang pelacur yang memberikan minumnya
kepada anjing yang kehausan padahal ia juga sangat haus dan sisa air tinggal
sedikit. Hingga akhirnya pelacur itu menjemput ajalnya karena kehausan, namun
karena amal baiknya pada seekor anjing, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
“Jadi apakah Allah akan menerima ibadah
haji seorang pelacur? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan
takut. Senantiasa berharap atas ampunanNya. Selalu takut atas azabNya.
Belajarlah dari riwayat itu. selalulah berbuat baik Upe, selalu. Maka semoga
esok lusa, ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar
anak-anak mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya.”
Itulah tiga inti dari nasehat indah yang
diberikan Gurutta. Berhenti lari dari kenyataan hidupmu, berhenti cemas dengan
penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.
Tentu saja, masa lalu kelam memang tak
bisa dengan mudah dilupakan. Tapi kita punya dua pilihan, apakah akan terus
berusaha melarikan diri darinya, atau mengikhlaskannya sebagai bagian tak
terpisahkan dari hidup kita. Sungguh kata-kata Gurutta telah lebih dari cukup
menjelaskan segalanya, bahwa lari dari masa lalu justru akan membuat kita hidup
dalam siksaan yang lebih menyakitkan. Siksaan karena pernah hidup dengan cara
yang kotor, siksaan karena ingin menjadi sebersih mungkin dalam pandangan semua
orang meskipun tahu masa lalu itu tak bisa dihapuskan. Tersiksa sekali jika
harus hidup seperti itu. Maka tak ada cara lain selain mengikhlaskannya.
Biarkanlah masa lalu itu tetap menjadi
masa lalumu, terima ia sebagai pelajaran indah yang diberikan Allah sehingga
kini kau tahu jalan mana yang harus kau tempuh agar tidak kembali jatuh ke
dalam jurang yang sama. Dan jangan biarkan rasa cemas terhadap penilaian orang
lain semakin memperburuk hari-harimu. Karena manusia memang tempat khilaf dan
salah. Tak ada manusia di dunia ini yang lepas dari dosa dan kesalahan. Bila
memang ada orang lain yang menilai buruk tentangmu, ikhlaskan lah. Jika
kata-kata yang ia sampaikan adalah benar, jadikan itu sebagai pecut untuk
merubah diri menjadi lebih baik lagi. Namun jika kata-kata yang ia sampaikan
salah dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kau alami, jadikan itu
sebagai ladang pahala bagimu dengan bersabar menghadapi cacian dan hinaan
darinya, sambil mendoakan semoga Allah membukakan pintu hatinya untuk menyadari
kesalahannya.
Allah itu maha pengampun, sungguh. Namun
bukan berarti sifat maha pengampun yang dimiliki Allah ini boleh kita jadikan
untuk berulang kali melakukan kesalahan dan dosa, karena tahu esok lusa pasti
akan diampuni Allah. Itu salah besar. Seperti yang Gurutta katakan, berbuat
baiklah sebanyak-banyaknya. Taubat lah dengan sebenar-benarnya taubat, dengan
berjanji pada Allah, dan berikrar di dalam diri, tak akan lagi mengulangi
kesalahan yang sama. Mungkin dengan begitu Allah yang maha pengampun, maha pemurah
dan maha penyayang akan mengampuni kita, membersihkan seluruh dosa dan kotoran
yang menempel di masa lalu kita. Kita tak pernah tahu kapan itu akan terjadi.
Tapi yakinlah, barang siapa yang senantiasa berusaha menjadi hamba yang
dicintai Allah, maka Allah akan lebih-lebih mencintainya.
Kebencian yang Mendalam
Rasa benci memang selalu menjadi biang
kerok. Rasa benci terhadap seseorang membuat kita tak sedikit pun mau
berkomunikasi dengan orang tersebut, bahkan tak mau mendengar namanya, tak mau
berurusan dengan apapun yang ada kaitan dengannya. Dan bagaimana jadinya jika
rasa benci yang begitu besar itu malah kita berikan pada seseorang yang
seharusnya kita cinta, yang seharusya kita hormati? Bagaimana jadinya jika yang
kita benci itu adalah orang tua kita sendiri?
Dalam kisah kedua, seorang tokoh bernama
Daeng Andipati, memiliki rasa benci yang telah bertahun-tahun ia rasakan dan ia
simpan pada Ayahnya sendiri. Karena perlakukan kejam sang ayah terhadap dirinya
dan seluruh keluarganya, tak terkecuali terhadap ibunya. Hingga akhirnya sang
Ibu meninggal setelah dipukuli sang ayah. Rasa benci inilah yang memunculkan
pertanyaan besar dalam diri Daeng. Bagaimana mungkin ia akan pergi naik haji
dengan membawa kebencian sebesar itu? apakah Tanah Suci akan terbuka bagi
seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar ia bisa
memaafkan, melupakan semua? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah
pergi?
Gurutta kembali memberikan jawaban yang
sungguh bijak, yang mampu menyentuh relung hati terdalam Daeng,
“Kita sebenarnya sedang membenci diri
sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di
muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar
orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu
diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah
tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak
Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita selalu
tak paham.”
“Apakah kita berhak membenci orang lain?
Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir? Kenapa kita harus benci?
Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan
membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya.
Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci
orang lain, kita sebenarnya membenci diri sendiri.”
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang,
itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu
memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena
kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
Membenci dan memaafkan. Dua kata yang
sangat bertolak belakang. Namun tepat seperti yang Gurutta katakan, hati kita punya
kemampuan untuk memilih antara keduanya, apakah kita akan membenci ataukah
memaafkan seseorang. Bukankan setiap kita mengingkan kebahagiaan? Menginginkan
kedamaian dalam hidup? Lantas, bisakah kebahagiaan dan kedamaian itu kita
dapatkan dari membenci orang lain? Justru sebaliknya. Saat kita memutuskan
untuk membenci seseorang, maka sepanjang hidup kita akan terus menerus bergelut
dengan rasa benci itu. Kita tak mau dekat-dekat orang yang dibenci, tak mau
berurusan dengannya, tak mau bicara dengannya, apalagi melihat batang
hidungnya, tak sudi orang-orang terdekat kita berurusan dengannya, tak mau
pekerjaan kita diambil alih oleh dirinya, tak mau satu tempat kerja dengannya,
tak mau mendengar namanya. Ah, benar-benar menyesakkan.
Namun jika kita memilih untuk memaafkan,
kita akan selalu tersenyum, sabar dan ikhlas menerima apapun kelakuan buruk
yang dilakukan orang lain, dan justru mendoakan orang itu agar dimaafkan dan
dibukakan pintu hatinya untuk mengetahui kesalahannya. Kita tak perlu jauh-jauh
mencari contoh, Rasulullah SAW. Sendiri telah memberikan kita suri tauladan
yang baik dalam hal bersabar dan memaafkan orang lain. Meskipun dicaci, dihina,
difitnah, dilempari batu hingga kakinya lengket dengan sandalnya yang dilumuri
darah, pernahkah Beliau membenci orang-orang yang mendzolimi dan berbuat buruk
padanya? Pernahkah beliau mendendam? Pernahkah beliau menghujat balik atau
memperlakukan orang itu dengan buruk juga? Tidak pernah sekali pun. Beliau
malah berkata, “Ya Allah, maafkan ummatku, mereka melakukan ini karena mereka
tidak tahu bahwa mereka salah.” Sungguh tidak ada contoh manusia di dunia ini
yang memiliki sifat mulia melebihi kemuliaan beliau.
Seorang Rasul, yang sama-sama manusia
seperti kita pun bisa memilih untuk tidak membenci. Bahkan Allah pun tidak
segera mengazab orang yang kita benci. Lantas mengapa kita harus repot-repot,
susah-susah, dan menyiksa diri dengan memilih membenci orang lain? Sulit memang
untuk dijalani, sulit sekali. Tapi tak ada salahnya mencoba. Semoga Allah
memberikan kedamaikan di hati kita.
Cinta yang Pergi dan Cinta yang Tak Bisa
Dimiliki
Cinta, satu kata dengan berjuta kisah di
dalamnya. Berlebihan? Saya rasa tidak. Karena memang begitulah adanya. Cinta
bisa menghinggapi hati siapa saja, seluruh manusia di belahan bumi manapun. Tak
terkecuali saya. Dan mungkin kisah mengenai cinta yang diwakilkan oleh dua
orang tokoh dalam novel ini bisa memberikan sedikit pencerahan untuk siapa pun
di luar sana yang terkena efek ‘galau’ akibat cinta yang pergi, ataupun cinta
yang tak bisa dimiliki.
Kisah pertama tentang cinta ini adalah
kisah seorang kakek tua yang akrab dipanggil Mbah Kakung. Dalam perjalanan
menuju Tanah Suci, Mbah Kakung kehilangan cinta sejatinya, yakni sang istri,
mbah putri. Padahal perjalanan haji ini adalah perjalanan yang amat mereka
nanti-nantikan. Ini adalah pembuktian cinta mereka berdua yang telah berjuang
bersama untuk mengumpulkan keping demi keping uang selama bertahun-tahun untuk
bisa naik haji, karena mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mimpi
Mbah Kakung kandas seketika setelah ditinggalkan oleh Mbah Putri. Ia tak bisa
terima, mengapa Istrinya tercinta harus diambil Allah sekarang? Saat sebentar
lagi mereka akan sampai di Tanah Suci? Mengapa tak bisa menunggu sebentar saja?
Menjawab kekecewaan dan kesedihan Mbah
Kakung, Gurutta kembali mengeluarkan nasehat yang sungguh bijak. Dengan bahasa
yang penuh hati-hati karena bicara dengan orang yang lebih tua darinya, ia bisa
mendamaikan hati Mbah Kakung. Gurutta berpesan,
“Lahir atau mati adalah takdir Allah. Kita
tidak bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orangtua, tanggal, tempat….tidak
bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda, maupun memajukannya walau
sedetik. Kenapa Mbah Putri harus meninggal di kapal ini? Allah yang tahu alasannya.
Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi
membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang muslim
mendustakan takdir Allah.”
“Allah memberikan apa yang kita butuhkan,
bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi
baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi
amat buruk bagi kita. Mulailah menerima dengan lapang hati. Karena kita mau
menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa
perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa
basi menyapa pun tidak. Tidak peduli, Nah. Kabar baiknya, karena kita tidak
bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita
tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia
menerimanya, atau mendustakannya.”
“Biarkanlah waktu mengobati seluruh
kesedihan. Ketika kita tidka tahu mau melakukan apa lagi, ketika kita merasa
semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk membiarkan
waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi
selembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan
kegelisahan, bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam
hati. Biarkanlah waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati
menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.”
“Dalam Al Qur’an, ditulis dengan sangat
indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat. Bagaimana mungkin sabar bisa
menolong? Tentu saja bisa. Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong
paling dahsyat. Tiada terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada
tara.”
Lagi-lagi kita dihadapkan pada sesuatu
yang sebenarnya bisa kita pilih. Sedih, siapa yang tak pernah merasa sedih.
Sedih karena cinta, itu juga pasti pernah dirasakan semua orang. Namun kenapa
kesedihan itu ada yang bisa bertahan lama, bertahun-tahun pada sebagian orang
dan bisa berlalu, lenyap setelah beberapa hari bagi sebagian yang lain. Karena
hati mereka telah memilih. Ada yang memilih untuk terus menerus hidup dalam
kungkungan kesedihannya, ada pula yang memilih untuk ‘move on’ dan
menjalani hidup dengan lebih lapang dada dengan mengikhlaskan kesedihan itu
pergi dibawa oleh waktu.
Saya maupun penulis novel ini tidak
bermaksud untuk menyepelekan rasa sakit dan kehilangan yang dirasakan oleh
orang-orang yang ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya, sungguh tidak.
Tapi memang kematian itu pasti datangnya, karena setiap yang bernyawa pasti
akan mati. Tak terkecuali saya, tak terkecuali anda, dan seluruh manusia di
dunia ini. Sejauh apapun dia berlari, sehebat apapun dia bersembunyi, ajal
Allah pasti akan tetap mendatanginya jika sudah saatnya. Maka siapa yang bisa
mengelak? Dan apa yang bisa kita sesalkan dari kematian yang sudah pasti itu?
Apa yang bisa kita salahkan? Tidak ada. Karena benar kata Gurutta, itu hak
mutlak Allah sebagai sang maha pencipta. Karena kita ini miliki Allah, raga dan
nyawa ini milik Allah, semua yang kita cintai di dunia ini milik Allah, maka ia
berhak mengambilnya kapanpun ia mau, entah kita siap atau tidak menghadapinya.
Respon yang kita berikan saat menghadapi
takdir Allah itulah yang kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Apakah kita bisa ikhlas, atau malah kita tak mau terima sampai akhir. Kita
perlu mengingat lagi, apa tujuan kita hidup di dunia ini, apa maksud Allah
menciptakan manusia di dunia ini. Ia ingin kita terus beribadah kepadanya,
menyembahnya, mengabdi padaNya, berserah diri kepadaNya, dan mempersiapkan diri
untuk kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan akhirat. Dunia bukanlah akhir
segalanya, alam akhirat lah yang menjadi tempat kita akan hidup selama-lamanya.
Maka persiapkanlah bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan sebaik-baiknya.
Bersedihlah, tiada yang melarang. Justru tak bisa merasakan sedih itu tidak
normal. Tapi setelah puas bersedih beberapa hari, lantas bangkitlah dan
lanjutkan misi untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan akhirat. Bisa jadi
sebulan, seminggu, atau beberapa hari kemudian justru kita yang mendapat
giliran. Semoga Allah masih memberikan kita kesempatan untuk terus memperbaiki
diri.
Kisah cinta yang kedua adalah kisah
tentang cinta yang bisa dimiliki. Seorang pelaut bernama Ambo Uleng telah jatuh
cinta dengan seorang anak gadis dari keluarga kaya dan terpandang. Dan cinta
nya ditolak mentah-mentah oleh keluarga sang gadis hanya karena ia bukan anak
bangsawan, bukan dari kalangan terpelajar, dan tidak memiliki harta yang cukup
banyak untuk meminang sang gadis. Padahal sang gadis juga diam-diam menyukai
dirinya. Kenyataan pahit ini membuat Ambo Uleng memutuskan untuk pergi sejauh
mungkin dari kota tempat tinggalnya, dan bergabung dalam rombongan kapal
penunmpang haji dengan mendaftar menjadi seorang kelasi. Ia pun sama seperti
tokoh-tokoh lainnya, mengutarakan kesedihan dan kehancuran yang dirasakan
hatinya pada Gurutta, sang ulama mahsyur itu. Gurutta lagi-lagi mampu
memberikan jawaban yang bijak atas pertanyaan dan kegundahan yang dirasakan
Ambo Uleng. Dan kalau boleh jujur, nasehat ini juga menjawab semua kegundahan
dan kesedihan yang selama ini saya rasakan.
“Apakah arti cinta sejati itu? Maka
jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati
perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil
yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku
tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi
kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah
dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya,
tidak bersedia.”
“Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia
adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja
takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana
jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di
dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi
kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita
paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa
kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa
kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu
karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri
sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri.
Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang
yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak
semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit
tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman
baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang
berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering,
disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah ia
menjadi pohon meranggas, berduri, berbuat pahit.”
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu
belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri,
sibukkan dengan belajar. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan
memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya.
Jika pun kau akhirnya tidak memiliki seseorang itu, besok lusa kau akan
memperoleh pengganti yang lebih baik.”
Mungkin banyak dari pembaca yang juga
memiliki pengalaman seperti ini, mencintai seseorang, sudah berusaha untuk
mendapatkannya dengan cara yang benar dan sesuai kaidah agama, tapi ternyata
tak ada jalan, buntu. Entah karena dia yang belum siap menikah, karena dia
tidak bisa menerima kita, atau karena masalah keluarga seperti yang dialami
Ambo Uleng. Atau bisa jadi karena kita yang merasa belum siap untuk melangkah
lebih jauh, hanya berani menyimpan perasaan dalam-dalam di hati, namun tak
berani diutarakan karena tahu tanggung jawab yang akan mengekori setelah
‘pengutaraan cinta’ itu akan sangat besar, dan kita belum siap untuk menjalani
dan menghadapinya. Jadilah kita anak-anak manusia yang jatuh dalam kondisi
‘menggalau’. Tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong diri sendiri, rasanya
hampa, sedih. Tiba-tiba saja air mata jadi teman yang sangat setia menemani
hari-hari kita.
Tapi benar apa yang dikatakan Gurutta,
cinta sejati adalah cinta yang bisa melepaskan, merelakan, mengikhlaskan yang
dicintai pergi. Jika sudah berusaha, jika sudah menempun jalan yang benar,
berharap dan berdoa pada Allah dalam setiap sujud di tengah malam, lantas jawaban
yang didapatkan tak seperti yang diharapkan, tak ada yang bisa kita lakukan
selain mengikhlaskannya. Marah-marah? Merajuk? Mendendam? Itu jelas bukan
pilihan yang baik. Mengejar-ngejar terus sampai tak mempedulikan batasan norma
kesopanan dan agama? Itu juga jelas bukan jawabannya. Maka mengikhlaskan,
melepaskannya pergi, membiarkannya terbang bebas, hanya itulah yang bisa kita
lakukan.
Menangislah, hingga matamu bengkak, hingga
semua tenagamu habis, hingga air matamu mengering dengan sendirinya, hingga kau
lelah dan terlelap dalam tangismu. Tak ada yang melarangmu untuk menangis.
Bersedihlah, tak pernah Allah membenci orang yang bersedih. Tapi sekali
lagi, Gurutta benar dengan mengatakan “Jangan berlebihan. Jangan merusak diri
sendiri”. Lepaskan semua kesedihanmu dengan menangis hingga kau lelah dan
terlelap, untuk selanjutnya bangun di pagi hari dan melanjutkan kehidupan
dengan penuh rasa ikhlas. Isilah hari-harimu dengan semua hal positif yang bisa
kau lakukan. Menulis, contohnya. Siapa tahu dengan menulis di blog, atau dalam
lomba resensi novel seperti ini kau malah bisa menghasilkan karya-karya indah
yang bisa menggugah hati banyak orang. Dan dengan membaca tulisanmu, orang lain
bisa lebih bersemangat menjalani kehidupannya. Sungguh luar biasa efek dari
patah hati dan jatuh cinta ini, kalau kita bisa menyikapinya dengan cara yang
positif.
Dan tak ada yang pernah tahu skenario
Allah. Allah selalu punya kejutan yang kadang tak pernah kita sangka-sangka.
Bisa jadi dengan melihat usaha kita untuk ikhlas menerima takdir yang telah Ia
gariskan, Allah malah menyimpan sesuatu yang sangat indah untuk kita. Yang baru
akan kita ketahui di masa depan. Sungguh, Allah tak akan pernah menyia-nyiakan
makhluknya yang senantiasa bersabar dan ikhlas dalam menghadapi semua ujian
dariNya.
Kemunafikan dan Rasa Takut Kehilangan
Inilah kisah kelima, kisah dan pertanyaan
besar yang ternyata datang dari seorang laki-laki paling bijak diantara seluruh
tokoh di atas. Laki-laki yang selalu dimintai nasehat dan pendapatnya tentang
segala permasalahan. Kisah ini datang dari Gurutta, sang ulama mahsyur itu.
Mungkin bagi beberapa orang, peperangan
dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang sangat amat tidak baik dan tidak
layak untuk dilakukan. Karena dengan peperangan, kita bisa kehilangan
orang-orang yang kita sayangi, kita bisa kehilangan segalanya. Oleh karenanya
orang-orang tersebut memilih jalan yang lebih damai, salah satu contohnya
seperti yang dilakukan oleh gurutta, ia memilih untuk menulis. Ia juga ingin
negeri ini merdeka dari penjajahan, tapi ia terlalu takut untuk ikut serta
dalam peperangan, selalu menghindar dari medan perang, dan lebih memilih
melawan dengan cara yang lembut, melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah
agama.
Namun pilihannya untuk menempuh jalan damai
itu seketika dipertanyakan dalam sebuah kondisi yang begitu genting dan
mendesak, yakni ketika kapal yang ia tumpangi bersama ribuan orang lainnya
dibajak oleh perompak. Ambo uleng sudah menyusun rencana penyerangan balik
terhadap para perompak tersebut, namun dilain pihak Gurutta malah tidak
menyetujui rencana tersebut. Ia menolak mentah-mentah dengan alasan akan banyak
korban yang jatuh jika memutuskan untuk melakukan penyerangan balik.
Dalam kondisi genting itulah, Ambo Uleng,
seorang laki-laki yang bukan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, yang
hanya seorang kelasi dapur itu mampu membuat Gurutta menyadari kesalahan
terbesarnya, membuat sang Ulama menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang
selama ini menghantuinya.
“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh,
meninggalnya Syekh Raniri dan Cut Keumala, sejak saat itu Gurutta berjanji
tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut,
tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki dengan
itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus
dilakukan.”
“Aku tahu Gurutta tidak mau lagi
kehilangan orang-orang yang Gurutta sayangi, tapi kebebasan pantas dibayar
dengan nyawa. Aku membutuhkan Gurutta dalam rencana ini.”
“Gurutta masih ingat ceramah Gurutta
beberapa hari lalu di masjid kapal? Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal.
Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampai
dengan perkasa. Atau dengan di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya
iman.”
“Ilmu agamaku dangkal Gurutta. Tapi malam
ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci di dalam hati atau lisan.
Kita tidak bisa menasihati perompan itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak
bisa membebaskan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita
harus menebaskan pedang. Percayalah Gurutta, semua akan berjalan baik. Kita
bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh aku mohon. Rencana ini
sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinnya.”
Begitulah kalimat-kalimat yang mengalir
dari seorang kelasi rendahan bernama Ambo Uleng. Kalimat-kalimat yang bagaiakan
tamparan yang begitu keras mengenai pipi Seorang Ulama mahsyur dan bijak
seperti Gurutta. Ia yang selama ini selalu tenggelam dalam tulisan-tulisan dan
buku-buku ia yang buat, ia yang selama ini selalu mensyiarkan ajaran islam dan
memberikan nasihat-nasihat bijak pada orang lain tiba-tiba merasa begitu tak
berdaya ketika dihadapkan pada situasi terdesak oleh pelaku kemungkaran. Ia
merasa begitu munafik karena selama ini dengan mudahnya nasihat-nasihat bijak
mengalir dari mulutnya, namun justru ketika dihadapakan pada posisi sulit
seperti itu, ia malah tak mampu berada di garda terdepan untuk memperjuangkan
ummat nya.
Gaya kepemimpinan yang baik juga telah
dicontohkan oleh Rasul kita Muhammad SAW. Ketika daulah islam belum terbentuk,
beliau masih terus menempuh jalan dakwah. Mensyiarkan agama melalui
kalimat-kalimat santun dan baik ke seluruh penduduk kota Mekah yang saat itu
masih hidup dalam gaya dan sistem yang jahiliyah. Namun ketika telah berdiri
Daulah/Negara Islam pertama di Madinah, dan dengan terbentuknya negara ini maka
telah terbentuk pula pasukan keamanan yang mampu melindungi kedaulatan negara
dan melindungi ummat, maka setiap kali ada bangsa atau kaum kafir yang ingin
menyerang Madinah dan melukai ummat Muslim, Rasulullah tak gentar untuk
menanggapi ajakan berperangan tersebut. Beliau pun menjadi pemimpin di tiap
peperangan, berada di garda terdepan pasukan pembela ummat muslim. Dengan
membawa panji-panji Islam, pasukan yang gagah berani itu memenangkan sebagian
besar peperangan melawan Kafir. Karena dilindungi oleh Rasulullah dan pasukan
yang siap mati syahid dalam jihad di jalan Allah, ummat bisa hidup dalam
perlindungan penuh.
Begitulah seharusnya seorang ulama
bertindak, mencontoh teladan Rasulullah yang tak pernah gentar melawan pasukan
kafir quraisy meskipun jumlah pasukan mereka kalah banyak dibanding pasukan
musuh. Peperangan memang kejam, karena akan ada begitu banyak nyawa yang
melayang. Dan Allah benci jika ada nyawa muslim yang mati sia-sia. Namun jika
ummat yang sudah terdesak, tidak lagi memiliki kesempatan untuk hidup dengan
damai dan menjalankan ibadah dengan tenang karena berada di bawah ancaman,
seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia saat masa penjajahan, maka tak ada
jalan lain yang bisa dilakukan selain melawan, berperang di jalan Allah. Pada
masa Rasulullah masih memimpin ummat dulu, Allah lah yang mengizinkan untuk
dilakukan peperangan, karena Allah tahu ummat sudah terdesak, dan tak ada jalan
keluar lain untuk melindungi nyawa-nyawa lainnya yang tak berdosa selain dengan
mengerahkan pasukan dan menjawab tawaran untuk berperang.
Dari kelima kisah tersebut, banyak sekali
pelajaran yang bisa kita ambil. Novel ini memang tidak sempurna, karena tidak
ada hal yang sempurna di dunia ini, bukan? Tapi jika melihat banyaknya nasihat
dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari kisah-kisah yang dipaparkan di
dalamnya, maka saya sangat merekomendasikan untuk pembaca sekalian menjadikan
novel ini sebagai referensi bacaan di waktu senggang. Resensi ini mungkin tak
sempurna menggambarkan keindahan buku ini, pun tak sempurnah menjelaskan titik
kelemahan dari buku karangan Darwis Tere Liye ini. Tapi semoga tulisan ini bisa
memberikan ulasan yang cukup untuk membuat pembaca sekali tertarik membeli
novel ini dan membacanya sampai habis.
Rensensi ini saya tutup dengan mengutip
satu lagi puisi indah dari Gurutta…
“Wahai laut yang temaram, apalah arti
memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti
kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan saat kehilangan, dan sebaliknya,
kehilangan banyak saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta?
Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana
mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak
menuntut apa pun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak
kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan
saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang
saja.”
TERIMA KASIH ..
POSTED : HABIB RIZIQ